Pemerintah Kabupaten Bogor Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H
PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR
MENGUCAPKAN
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1443 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN
https://www.facebook.com/share/p/CLZwMVEFn2WXyn8r/?mibextid=xfxF2i
PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR
MENGUCAPKAN
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1443 H
MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN
Dialog Presidium Majelis Permusyawaratan Bumiputra Indonesia di RM Handayani Jl. Matraman Jakarta Timur bersama para audien dan tokoh tokoh negarawan (27/4).
Kegiatan dialog dibuka langsung oleh dr. Zulkifli S Ekomei, dilanjutkan dengan sambutan para Presidium Nasional Majelis Permusyawaratan Bumiputera Indonesia.
BACA JUGA: 40 Pengurus PAC TIDAR Kabupaten Bogor Resmi Dilantik
Menghadapi keadaan bangsa dan negara yang mengalami kiris ketidak percayaan atas pengelolaan dan jalannya pemerintahan, memanggil inisiatif Majelis Permusyawaratan Bumiputera Indonesia untuk melakukan dialog terbuka dalam mencapai gagasan, solusi serta ide ide untuk kesejahteraan bangsa dan negara.
Kritik tentang kebijakan kebijakan yang membuat kondisi ekonomi masyarakat makin memburuk, tidak menjadi perhatian ataupun alasan bagi pemerintah untuk memperbaiki diri dalam mengeluarkan kebijakan kebijakan
Majelis Permusyawaratan Bumiputera Indonesia hadir ditengah-tengah masyarakat untuk berdialog mencari solusi bagaimana mengembalikan negara sesuai UUD 1945.
BACA JUGA: Pertama Kali Sambut Idul Fitri 1443 H, Gelar Karnaval Perahu Hias
Dalam penyampaian tampak hadir Drs. H. Ridwan Saidi adalah seorang budayawan Betawi, sejarawan, dan intelektual Islam . Ia juga merupakan mantan anggota DPR melalui Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 1977-1987. Ridwan tercatat sebagai lulusan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Lebih lanjut Ridwan menyampaikan bagaimana sejarah migran zaman dahulunya sampai ke Indonesia, termasuk imigrasi asal China di abad ke 17.
Acara dijeda dengan berbuka puasa bersama yang kemudian dilanjutkan dengan pandangan Majelis Permusyawaratan Bumiputera Indonesia memgenai Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Pertahanan Keamanan.
BACA JUGA: PWRI Banyuwangi Sowan Ke Kominfo dan Bakesbangpol
Ada beberapa pertanyaan, apakah negara ganti sistem atau ganti rezim untuk melindungi masyarakat ? Pertanyaan tersebut disambut Edwin Hernawan Sukowati menjadi menarik ketika menyampaikan apa itu kolonial Hindia Belanda dan VOC.
Kolonial adalah anak kandung dari sebuah perusahaan yang memakai sistem kapitalisme, sehingga menciptakan oligarki yang sangat kuat, timbul pertanyaan pada diri kita kapan Indonesia dijajah oleh Negara Belanda ? Tidak pernah, yang menjajah Indonesia ya VOC, perusahaan terbesar di Belanda.
Kehadiran Sultan Sepuh Jainuddin 2 pada dialog kali ini memberi semangat peserta yang hadir untuk membenahi kondisi negeri.
BACA JUGA: Yessy Serahkan Bantuan Kepada 128 Korban Kebakaran
Sultan Sepuh Jaenudin II Arianatareja atau yang dikenal sebagai Pangeran Kuda Putih membeberkan siapa pemilik lahan/tanah yang dikelola dan dikuasai oleh BUMN di negeri ini ? Sampai saat ini pemerintah belum bisa membuktikan hak kepemilikan.
Sultan Sepuh juga menyampaikan “Apa syarat berdirinya suatu negara ? Ada wilayah dan ada penduduknya. Ketika Indonesia Merdeka apakah sudah memiliki wilayah ? Dan memiliki rakyat?” Ujar Sultan Sepuh.
Lebih lanjut “Belum memiliki, yang memiliki wilayah dan penduduk di Nusantara ini adalah raja raja dan kesultanan jauh sebelum Indonesia merdeka, dan sejarah membuktikan sudah adanya pemerintahan kesultanan sebelumnya”.
BACA JUGA: FORKAWAN Gelar Buka Puasa Ramadhan 1443 H
Kepada metroindonesia.id, Sultan Sepuh menyampaikan “Segera akan menyatukan para raja raja dan sultan yang ada di bumi Pertiwi, dan meminta kepada raja atau sultan untuk tidak berkutak pada anggaran pariwisata dan budaya saja.
“Hukum adat dan wilayah adat masih berlaku dan tidak bisa dihapuskan”, jelasnya.
Oleh : Majelis Permusyawaratan Bumiputera Indonesia
Pendapat itu disampaikan LaNyalla selaku pemohon principal di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang mensyaratkan Presidential Threshold atau Ambang Batas, Selasa (26/4/2022).
Dikatakan LaNyalla, dalam uji materi Pasal 222 UU Pemilu kali ini, dirinya menyampaikan sesuatu yang lebih luas dan baru, dibanding para pemohon sebelumnya dalam perkara yang sama, yang oleh MK ditolak. “Mohon dicatat dan didengar dengan seksama,” imbuhnya.
BACA JUGA: Yessy Melania: Bimtek Manajemen Peternakan Harus Berkelanjutan
Dikatakannya, ia dan tiga pimpinan DPD RI lainnya yang berdiri sebagai Pemohon, merupakan representasi pimpinan Lembaga Negara yang merupakan perwakilan daerah, yang mewakili 34 provinsi dan seluruh kabupaten dan kota.
“Kami dipilih dalam Pemilihan Umum melalui jalur peserta Pemilu Perseorangan. salah satu fungsi dan tugas kami adalah melakukan pengawasan terhadap Undang-Undang, untuk memastikan bahwa Undang-Undang tersebut memenuhi tiga unsur hakiki hukum,” papar LaNyalla.
Yaitu unsur bahwa UU yang dihasilkan harus predictability atau bisa memprediksi kemungkinan yang terjadi pada masa yang akan datang. Harus bisa menjawab secara utuh sehingga menjadi obat, bukan malah menjadi penyakit atau menimbulkan persoalan.
BACA JUGA: Yessy Membuka Secara Resmi Bimtek Pelaku Usaha Peternakan
Lalu UU juga harus bisa menciptakan stability atau keseimbangan, dan berikutnya, UU harus mengandung unsur fairness. Ini mutlak, karena hakekat hukum dan Undang-Undang adalah keadilan.
“Sehingga, dalam kesempatan ini saya dengan tegas mengatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak memenuhi unsur hakiki dari hukum yang harus ada di negara ini,” tegas LaNyalla.
Menurutnya, keberadaan Pasal 222 membuat dirinya dan ratusan juta rakyat Indonesia peserta Pemilihan Presiden bisa kehilangan hak pilih. Negara pun bisa dan sangat berpeluang berada dalam keadaan stuck, macet dan lumpuh akibat penerapan Pasal 222 itu.
Baca JUGA: Ketua DPD RI Desak Pemerintah Segera Antisipasi Kemacetan Arus Mudik
“Hal itu terjadi akibat dari Undang-Undang Pemilu tidak bisa menjawab kemungkinan yang bisa terjadi akibat adanya Pasal 222 tersebut di dalam UU Pemilu itu sendiri,” katanya.
Pertama, apabila Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 dan selanjutnya masih memberlakukan Pasal 222 UU 7/2017, bukan hanya rakyat Indonesia yang kehilangan hak untuk memilih, tetapi bisa jadi pemilihan Capres dan Cawapres tidak dapat dilaksanakan.
“Hal itu bisa terjadi apabila gabungan partai politik yang mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden mencapai jumlah kursi DPR 80,01 persen atau 75,01 persen suara sah secara nasional. Sehingga hanya akan ada satu pasangan Capres dan Cawapres yang memenuhi syarat untuk mendaftar,” papar LaNyalla.
BACA JUGA: KLHK Resmi Berikan Bimtek Ke Petani Terkait RHL Dan KBR
Mengapa bisa stuck atau lumpuh? Karena UU Pemilu hanya mengantisipasi apabila salah satu dari dua pasangan Capres dan Cawapres berhalangan tetap di tengah jalan atau di tengah tahapan. Dimana tahapan dilanjutkan dengan satu pasang melawan kotak kosong.
Tetapi bila sejak awal yang bisa dan yang memenuhi syarat untuk mendaftar hanya satu pasang calon, akibat pasangan tersebut didiukung oleh gabungan partai politik yang mencapai angka 76 persen suara sah, sehingga dengan ambang batas 25 suara sah, maka tidak ada lagi pasangan yang bisa didaftarkan, di sini masalah tata negara muncul.
“Ini menunjukkan bahwa Pasal 222 selain melanggar konstitusi, juga berpotensi menimbulkan persoalan yang tidak mampu dijawab oleh UU Pemilu. Karena UU Pemilu sama sekali tidak mengantisipasi potensi tersebut,” tukasnya.
BACA JUGA: LaNyalla Minta Pemerintah Tingkatkan Ekonomi
Karena sangat mungkin terjadi pasangan calon didukung oleh gabungan partai politik yang mencapai jumlah kursi DPR di atas 80 persen atau di atas 75 persen suara sah secara nasional. Sehingga yang tersisa tidak mencapai 20 persen kursi.
“Begitu pendaftar hanya satu pasang dari awal, maka sesuai UU Pemilu Pasal 229 ayat 2 huruf (a) dan (b), maka KPU akan menolak pendaftaran pasangan tersebut. Artinya apa? Artinya macet. Karena tidak bisa dilawankan dengan kotak kosong. Yang bisa dilawankan kotak kosong apabila salah satu dari dua pasangan calon berhalangan tetap di tengah jalan,” jelasnya.
Ditambahakan LaNyalla, situasi tersebut, dapat menjadi dalil untuk melakukan penundaan Pemilu. Modusnya dengan kesepakatan dan kongsi antar-partai politik atau gabungan partai politik sehingga hanya bisa terbentuk satu pasang Capres dan Cawapres sejak awal. Sehingga ditolak oleh KPU. Dan kemudian stuck, macet dan lumpuh.
Pasal 222 tidak mengantisipasi apabila dalam Pemilihan Legislatif pada tahun 2024 nanti terdapat partai politik yang meraup atau memperoleh suara sebesar 75,01 persen suara sah secara nasional.
Seperti pernah terjadi pada Pemilu tahun 1997, di mana Golongan Karya saat itu memperoleh suara nasional sebesar 74,51 persen. Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan memperoleh suara 22,43 persen dan Partai Demokrasi Indonesia memperoleh 3,06 persen suara.
“Lantas, bagaimana dengan Pilpres Tahun 2029 mendatang, di mana dengan menggunakan basis suara perolehan Pemilu Legislatif tahun 2024, yang mana hanya ada satu partai politik saja yang dapat mencalonkan pasangan Capres dan Cawapres?” tanyanya.
Menurut LaNyalla, sangat jelas produk hukum tersebut membahayakan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara serta ketatanegaran dengan memberi dan membuka kesempatan untuk menimbulkan persoalan Tata Negara yang sangat serius.
Berangkat dari hal tersebut, lanjutnya, dapat disimpulkan bahwa Pasal 222 UU 7/2017 yang berisi tentang Ambang Batas Pemilihan Presiden adalah pasal yang bukan saja bertentangan dengan konstitusi, tetapi dapat berpotensi merusak dan menimbulkan kekacauan tata negara bangsa ini. Dan dapat mengancam tujuan serta cita-cita nasional seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
“Sehingga bukan saja bertentangan dengan konstitusi, tetapi juga bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara. Sehingga, Pasal 222 tersebut dapat saya sebut sebagai pasal yang membuka peluang untuk melakukan tindakan subversif tehadap negara ini,” tegas dia.
LaNyalla juga menyinggung pendapat dua hakim MK yang menyatakan dissenting opinion (pendapat berbeda) yang pada prinsipnya mendukung penghapusan Ambang Batas atau Presidential Threshold dalam UU Pemilu.
Dikatakan LaNyalla, apa yang dikatakan Saldi Isra dan Suhartoyo bahwa dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan Ambang Batas dalam proses pengisian jabatan presiden, jelas memaksakan sebagian logika sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. (*)
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (DPP APKOMINDO) Soegiharto Santoso akhirnya kembali melayangkan surat ketiga pada Senin (25/4/2022).
Surat ketiga Ketum APKOMINDO Soegiharto Santoso kepada Kantor OTTO HASIBUAN & ASSOCIATES, Advocates & Legal Consultants itu berisi konfirmasi tentang dugaan pemalsuan surat gugatan perkara nomor: 633/Pdt.G/ 2018/PN.JKT.Sel.
Hoky sapaan akrab Ketum APKOMINDO mengatakan, dokumen surat gugatan itu diduga palsu karena tidak sesuai dengan fakta peristiwa Munaslub APKOMINDO tertanggal 02 Februari 2015 dan tidak sesuai dengan akta notaris tentang peristiwa Munaslub APKOMINDO tertanggal 02 Februari 2015, serta tidak ada dokumen permintaan tertulis 2/3 dari jumlah DPD APKOMINDO yang sah untuk penyelenggaraan Munaslub sesuai AD/ART.
Bahwa, menurut Hoky, sesungguhnya Rudi Rusdiah adalah Ketua Umum yang terpilih pada Munaslub tanggal 02 Februari 2015 tersebut. “Rudi sendiri telah memberikan kesaksian pada persidangan bahwa dirinya lah yang terpilih sebagai Ketua Umum bukan Rudy Dermawan Muliadi seperti yang tertera dalam gugatan yang dimenangkan oleh pihak Klien Otto Hasibuan,” ungkapnya.
Hoky juga meminta Otto Hasibuan harus mampu menunjukan bukti foto dan dokumen tentang peristiwa Munaslub yang memperlihatkan Rudy Dermawan Muliadi terpilih sebagai Ketua Umum, Faaz Ismail sebagai Sekretaris Jenderal, dan Adnan sebagai Bendahara Umum terpilih.
Karena bukti yang dimaksud di atas tidak pernah bisa diperlihatkan, dan fakta hukumnya memang tidak pernah ada, maka Hoky mengaku telah membuat Laporan Polisi No. LP/B/5725/XI/2021/SPKT/Polda Metro Jaya, tanggal 15 November 2021, di mana proses perkaranya telah dilimpahkan ke Polres Jakarta Selatan dan kini masih dalam proses penyelidikan.
Hoky menambahkan sebelumnya dirinya sejak tahun 2018 lalu telah membuat Laporan Polisi No. LP/5364/X/2018/PMJ/Dit Reskrimsus, tanggal 5 Oktober 2018, tentang perkara dugaan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahaan, penghilangan, pengerusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-oleh data yang otentik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 Jo Pasal 51 ayat 1 UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, yang ditangani oleh Subdit IV Tipid Siber Polda Metro Jaya.
“Ia benar, saya telah membuat laporan tersebut, namun telah 4 tahun masih dalam proses penyelidikan, sedangkan saya saat dikriminalisasi oleh kelompok Klien Bang Otto di Bareskrim Polri dengan laporan Polisi No. LP/392/IV/2016/Bareskrim, tanggal 14 April 2016, hanya dalam waktu 4 bulan sudah menjadi Tersangka dan pada tanggal 24 November 2016 telah tahap 2 dan langsung ditahan selama 43 hari, namun setelah proses sidang dinyatakan tidak bersalah oleh PN Bantul dan upaya kasasi JPU telah ditolak oleh MA,” beber Hoky.
Hoky juga menambahkan, tanpa visum dan tanpa alat bukti yang cukup dirinya dijadikan Tersangka dengan Pasal 351 KUHP atas laporan Polisi lainnya oleh kelompok Klien dari Otto Hasibuan dengan laporan No. LP/109/V/2017/SPKT di Polres Bantul. Pihaknya terpaksa melakukan praperadilan di PN Bantul. “Anehnya pasal diganti menjadi 352 KUHP dengan alasan penyidik salah menerapkan pasal,” tukas Hoky.
Tentu saja semua itu, menurutnya, merupakan bukti bahwa Klien Otto Hasibuan selalu berupaya melakukan rekayasa hukum, namun seluruhnya gagal. Bahkan Ir. Faaz saat ini telah mendekam di Lapas Wirogunan Yogyakarta sejak tanggal 07 April 2022 akibat terbukti menghina dan mencemarkan nama baik Hoky melalui FB Apkomindo.
“Target saya tetap mengungkapkan kebenaran dan mencari keadilan,” tandas Hoky yang juga menjabat Pemimpin Redaksi media online Biskom, Ketua OKK DPP SPRI, dan Dewan Pengarah LSP Indonesia.
Hoky tetap meyakini hukum dan keadilan akan tetap dapat ditegakan di NKRI, untuk itu dirinya menyerahkan penyelidikan terkait laporan tahun 2018 tentang ITE dan laporan tahun 2021 tentang dugaan pemalsuan data surat gugatan tersebut kepada pihak penyidik. “Apakah Bang Otto Hasibuan hanya sebagai saksi atau dianggap ikut terlibat di dalamnya itu penyidik yang berhak menungkapnya,” pungkasnya.[] Red.