MELAWI-KALBAR Metroindonesia.id – Praktisi hukum Yustinus Bianglala, SH. menyarankan kepada DPRD Kabupaten Melawi untuk menunda pengesahan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah) tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD TA 2022 Kabupaten Melawi menjadi Peraturan Daerah.
Saran tersebut disampaikan karena ia menduga dalam perencanaan dan pelaksanaan APBD TA 2022 ada oknum yang melakukan perbuatan melawan hukum.
“Perbuatan melawan hukum oleh oknum dimaksud akan menjadi tindak pidana korupsi jika ditemukan kerugian keuangan negara dalam pelaksanaan APBD TA 2022,” kata Lala sapaan akrabnya, Rabu (11/6) saat ditemui di Café Toegoe.
Dijelaskan Lala, bahwa dalam peraturan perundang-undangan, meski tidak secara ekplisit, dari struktur APBD dapat ditafsirkan bahwa dalam tahun anggaran (TA) berkenaan, Pemkab dilarang berutang kepada pihak ketiga dikarenakan kas daerah tidak mencukupi untuk membayar belanja saat tutup buku.
“Struktur APBD itu meliputi pendapatan, belanja, dan pembiayaan, memastikan dalam TA berkenaan, kas daerah mampu membayar belanja daerah. Dalam hal kas daerah tidak mampu membayar belanja daerah, maka untuk mengisi kas daerah digunakan mekanisme pembiayaan,” jelasnya.
Lanjutnya, penerimaan pinjaman daerah yang oleh awam biasa disebut utang, adalah suatu mekanisme yang hanya dipakai dalam keadaan APBD TA berkenaan mengalami defisit dan untuk mengisi kas daerah agar mampu membayar belanja daerah.
“Adanya hutang sebesar Rp97 milyar kepada pihak ketiga pada TA 2022 ini menjadi polemic. Karena ternyata saat tutup buku pertanggal 31 Desember 2022, kas daerah tidak mencukupi untuk membayar belanja sejumlah 97 milyar dimaksud, hal ini disebabkan pendapatan daerah tidak mencapai target,” ulasnya.
“Berdasarkan struktur APBD, kas daerah sampai dengan tutup buku wajib mampu membayar belanja daerah, oleh karena itu membiarkan kas daerah sampai tutup buku tidak mencukupi untuk membayar belanja, itu termasuk perbuatan melawan hukum,” imbuhnya.
Dijelaskan Lala, keadaan dimana Pemkab Melawi tidak mampu membayar belanja sejumlah Rp97 milyar dikarenakan kas Pemkab tidak mencukupi untuk membayar pihak ketiga pada TA 2022 itu tidak sama dengan keadaan “keterlambatan pembayaran pekerjaan yang telah diselesaikan 100% pada tahun berkenaan” sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020.
Lala Juga memaparkan bahwa, Keadaan atau situasi “keterlambatan pembayaran pekerjaan yang telah diselesaikan 100% pada tahun berkenaan” sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 mewajibkan kas daerah cukup untuk membayar belanja, sedangkan situasi Pemkab Melawi tidak mampu membayar belanja sejumlah 97 milyar pada TA 2022 dikarenakan kas Pemkab saat tutup buku tidak mencukupi untuk membayar belanja.
“Jadi, perbedaannya, dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 kas daerah wajib dalam keadaan cukup untuk membayar belanja, sedangkan yang dialami Pemkab Melawi pada TA 2022, kas Pemkab dalam keadaan tidak mencukupi untuk membayar belanja,” ujarnya.
“Dalam hal Pemkab Melawi menjadikan “keterlambatan pembayaran pekerjaan yang telah diselesaikan 100% pada tahun berkenaan” dalam Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pelaksanaan dan penatausahaan pembayaran belanja TA 2022 sejumlah Rp97 milyar melalui APBD TA 2023 atau menggunakan kas Pemkab TA 2023 dengan cara menghapus nomenklatur (kegiatan) belanja yang sudah disahkan dalam APBD TA 2023 lewat mekanisme perubahan Perkada tentang Penjabaran APBD TA 2023, adalah wujud kekeliruan dalam menafsirkan hukum,” paparnya lagi.
Menyinggung perihal pendapatan daerah yang tidak memenuhi target. Lala berujar, “Ada rumus yang digunakan dalam menghitung pendapatan daerah. Tidak dipakainya rumus tersebut dalam menetapkan besaran pendapat daerah, termasuk perbuatan melawan hukum.”
“Perbuatan melawan hukum juga dilakukan pada saat penyusunan Perubahan APBD TA 2022, sebab berdasarkan laporan realisasi semester pertama, oknum dimaksud sudah mengetahui perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA TA 2022. Namun, mereka tidak melakukan perbaikan dalam Perubahan APBD TA 2022,” tegasnya.
“Meskipun tidak melakukan perbaikan dalam Perubahan TA 2022 dan sadar bahwa kas daerah tidak cukup untuk melakukan pembayaran, Pemkab bisa memilih untuk tidak mengeksekusi nomenkaltur belanja, sayangnya ini tidak dilakukan,” tambah Lala.
Oleh sebab itu, supaya tidak membenarkan dugaan perbuatan melawan hukum oleh oknum dalam perencanaan dan pelaksanaan APBD TA 2022 atau agar tidak terseret perkara Tipikor jika terdapat kerugian keuangan negara dalam pelaksanaan APBD TA 2022, Lala mengulangi sarannya kepada DPRD Kabupaten Melawi untuk menunda pengesahan Raperda tentang Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Melawi Tahun Anggaran 2022 menjadi Peraturan Daerah.
“Saya berharap, supaya tidak menjadi perkara Tipikor dan semoga tidak ada kerugian keuangan negara dalam pelaksanaan APBD TA 2022. Raperda laporan pertanggungjawaban APBD TA 2022 sebaiknya di tunda dulu oleh DPRD,” pungkasnya.