MELAWI-KALBAR, Metroindonesia.id – Praktisi hukum, Yustinus Bianglala, S.H., mengatakan bahwa konferensi pers yang digelar Pemkab Melawi pada Senin (5/6) kemarin soal defisit dan utang belum mampu mencapai tujuan dilaksanakan konferensi pers dimaksud. DPRD Melawi diminta bentuk Pansus agar masalah ini terang benderang.
“Defisit memang berbeda dari utang. Defisit terjadi bila jumlah pendapatan Pemda Melawi lebih kecil daripada jumlah belanja pada tahun anggaran yang sama, sedangkan utang adalah kewajiban yang harus dibayar yang berlaku bukan hanya tahun tunggal tetapi untuk semua jumlah terutang,” kata Lala sapaan akrabnya, Selasa (6/6).
Lanjutnya, defisit menyebabkan Pemda Melawi berutang atau istilah teknisnya (melakukan) penerimaan pinjaman jika defisit tidak dapat ditutupi melalui mekanisme penerimaan pembiayaan, antara lain, sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA) tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang.
“Tapi kalau SiLPA tahun sebelumnya, penggunaan cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan piutang dapat menutupi defisit, maka Pemda Melawi seharusnya tidak berutang,” jelas Lala yang juga pernah menjabat anggota DPRD Kabupaten Melawi tahun 2004 s/d 2014 ini.
“Tidak berutang yang saya maksudkan adalah dalam upaya menutupi defisit dalam konteks postur APBD TA 2022,” imbuh Lala..
Menurut Lala,setelah mencermati pemberitaan media online terkait konferensi pers, ternyata Pemkab Melawi dalam konferensi pers tidak menjelaskan mekanisme penerimaan pembiayaan yang digunakan dalam menutup defisit Tahun Anggaran 2022.
“Saya mengasumsikan dalam rangka menutupi defisit APBD TA 2022, Pemda Melawi tidak berutang,” sindirnya.
“Apabila Pemda Melawi tidak berutang untuk menutupi defisit APBD TA 2022, mengapa sesuai hasil review Ispektorat pada bulan Januari 2023, Pemda Melawi pada TA 2022 (tahun tunggal) berutang sejumlah 97 milyar kepada pihak ketiga?,” ujar Lala penuh tanya.
“Merujuk penjelasan konferensi pers yang dilakukan Pemkab Melawi seperti di media online Meldanews, utang 97 milyar terjadi karena semua kegiatan Pemda Melawi dilaksanakan tetapi kas tidak mencukupi untuk membayar kegiatan tersebut disebabkan karena realisasi pendapatan tidak mencapai target,” kata Lala.
“Berdasarkan frasa kas tidak mencukupi (pada 31 Desember 2022), maka terjadi defisit 97 milyar dan defisit tersebut menyebabkan utang 97 milyar. Namun, utang 97 milyar ini bukan dalam bentuk penerimaan pinjaman untuk menutupi defisit APBD TA 2022,” pungkasnya.
Menurutnya, hutang 97 milyar adalah kewajiban yang harus dibayarkan Pemda Melawi kepada pihak ketiga berdasarkan perjanjian/kontrak pengadaan barang/ jasa yang sampai dengan tanggal pelaporan keuangan belum dibayar karena kas tidak mencukupi untuk itu.
“Jika TA 2022 kas tidak mencukupi untuk membayar utang 97 milyar, lalu utang dibayar menggunakan dana apa? Dibayar tahun berapa?,” tanyanya lagi.
“Jika utang 97 milyar belum dibayar bukan karena kas tidak mencukupi, melainkan disebabkan faktor lain, misalnya, faktor administrasi proyek. Baru logis bahwa defisit tidak menyebabkan utang sejumlah 97 milyar.” ulas Lala.
“Saya jadinya bertanya-tanya, benarkah telah terjadi perubahan defisit yang sangat signifikan antara apa yang ditetapkan dalam APBD TA 2022 dengan kenyataan?” tanya Lala lagi.
Lala juga mempertanyakan dasar hukum penyelesaian utang sejumlah 97 milyar pada TA 2022? Sudahkah Pemda Melawi memiliki Peraturan Bupati tentang Mekanisme Penyelesaian Utang Daerah? Dalam konferensi pers Pemkab Melawi, Perbub dimaksud tidak disebutkan sebagai dasar hukum yang digunakan Pemkab Melawi.
“Kondisi ini mendorong saya mengusulkan fraksi-fraksi di DPRD Kabupaten Melawi membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk membuat terang benderang polemik terkait defisit ini,” tegasnya.